Senin, 31 Oktober 2016

Ada saat dimana tidak ada yang bisa dilakukan dalam pertengahan ngerjain UTS. Hingga akhirnya lari ke Blog, tempat dimana hati bisa "nyampah" sepuasnya. Tak ahsan sebenarnya, tapi tak apa, setidaknya ada yang bisa di sampaikan untuk mengurangi pikiran agar lebih plong  untuk melanjutkan mengerjakan tugas setelah ini.

Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, Tasqif adek-adek berjalan lancar meskipun dalam banyak tekanan di pertengahan UTS. Mentoring Nurul Hayat  berjalan selama 3 minggu, dan aku mendapatkan amanah untuk masuk dalam proyek pembinaan Kota Malang dan yang terbaru, adek-adek Nur Hidayah bersilaturahmi ke malang dalam agenda lomba di Univ Negeri Malang, setidaknya memberi angin segar bagiku yang semakin rindu untuk bersilaturahmi dengan adek-adek serta ustadz yang sempat mengajar ketika aku kelas 12.

Semuanya berlalu begitu saja, seperti ketika SMA aku melewati berbagai masalah yang ada. Masalahnya mungkin ndak jauh beda, mungkin seputar tugas, dakwah, di bully dan lain sebagainya. ndak jauh beda, cuma berbeda bagaimana aku menyingkapinya. Toh pada akhirnya masalah di SMA terlewati juga, Tinggal ambil apa yang baik dimasalalu untuk di jadikan pelajaran hingga sekarang, hingga akhirnya membentuk diriku yang sekarang ini.

Mungkin apa yang dilalui sekarang ini terasa lebih berat dari SMA, terlihat lebih berat dari dulu ketika masih belum kuliah dan lain sebagainya. Yang jelas adalah satu kesamaan, dulu dan sekarang aku sama-sama mengeluh. Mungkin diri ini masih perlu introspeksi untuk mengurangi ngeluh, mengurangi males dan menunda waktu (wkwk), biar kejadian di SMA nda terulang lagi.

Pun Allah telah menjanjikan, akan memberikan masalah sesuai kadarnya, yang artinya sama saja masalah dulu dan sekarang, tinggal bagaimana sikap diri ini agar masalah yang dihadapi adalah masalah yang berkelas, bukan masalah sepele yang sedikit-sedikit keluhan yang keluar dari lisan kita. Dan janji Allah di ayat lainnya, kalo terlihat masalah kita sulit di depan mata, pasti ada celah-celah kemudahan didalam nya.
Ya Allah Semoga tugas ku berubah jadi mudah, dengan Engkau menguatkan punggung ini :D

Yuk ngerjain lagi 

22.34
Sebulan menguatkan hati

Selasa, 18 Oktober 2016

Refleksi Kopi

Pict : M Rifqi Ali Ghufran
Teringat wasiat seorang ustadz ;

"Dimanapun engkau berada, carilah peran terbaikmu disana"

Pada awal-awal pikiran masih idealis, mungkin memang hal tersebut mudah untuk direalisasikan, seolah gunung setinggi apapun dapat dilewati. Pada kenyataannya, melihat realitas sesungguhnya yang terjadi di tengah masyarkat, serasa kaki tak bisa di langkahkan, berat untuk meninggalkan zona nyaman. Merasa bahwa kita benar-benar berada di fraksi yang benar-benar asing dan terasing.

Suatu malam, aku merasakan hal yang menjadi refleksi pikiran. Jalan Sukarno Hatta beserta kedaraan kota lalu lalang di depan mata. "Patung pesawat" menjadi pajangan indah yang menghiasi sepanjang malam di kota malang. Dengan kopi di hadapan yang menemani. Lalu hati terguncang ketika realitas ada di depan mata. Ya, Inilah kehidupan Malang di malam hari.

Terlintas di pikiran tentang perjuangan murabbi besar kita, Sayyid Hasan Al Banna. Ia yang hidup di zaman yang penjajahan dalam arti sesungguhnya terjadi di mesir, yang pada waktu itu Inggris sedang menjajah negeri Anbiya tersebut. Mesir yang kala itu kemaksiatan merajalela. Mesir yang waktu itu sedang dalam keadaan terluka setelah Khilafah Utsmany di pojokkan sedemikian rupa. Saat itu umat islam sedang terluka.

AsSyahid Hasan Al Banna memulai dari hal-hal kecil yang tak terpikirkan oleh siapapun. Ia memulai dakwah nya dari cafe-cafe, dari warung kopi ke warung kopi lainnya. Membangkitkan ghirah para umat islam yang kala itu sedang tertidur, hingga terciptalah kader-kader pertama dalam kancah tarbiyah didunia. Umat yang bangkit dalam tekanan, umat islam saat itu bagaikan tanaman yang tumbuh di kerasnya beton. Tak sedikit cobaan besar yang dihadapi kala itu, penangkapan oleh polisi mesir, dianggap sebagai organisasi teroris, bahkan di khianati oleh presiden mesir yang kala itu adalah kader ikhwan itu sediri. Semuanya merupakan perjuangan besar, yang akhirnya terdiaspora hingga keseluruh dunia, termasuk Indonesia.

Ketika menilik zaman terbaik, zaman dimana Rasulullah SAW hidup, umat islam juga hidup dalam tekanan besar. Ketika belajar shiroh, pasti akan ada kisah tentang bilal bin rabah yang tubuhnya di tindih batu di panasnya terik matahari karena mempertahankan keimanannya. Kita tidak asing dengan nama khabab bin art, Ia diseterika dengan besi panas yang merah menyala, dipakaikan baju besi kemudian dijemur di panas padang pasir, juga pernah diseret di atas timbunan bara sehingga lemak dan darahnya mengalir mematikan bara tersebut.

Kadang memang terlintas rasa kesal dalam menjalani dakwah, malas mendapati panggilan yang menuntut untuk membina maupun mengurus amanah kepanitiaan, disisi lain masih ada amanah akademik dan amanah lainnya. Tapi mengingat refleksi pikiran, mengenai orang-orang terdahulu maupun qiyadah yang banting tulang mengabdikan dirinya penuh dalam dakwah, bahkan diri ini belum seujung kuku mengabdikan diri dalam dakwah.

Benar kata seorang ustadz, bahwa mau jutaan orang meninggalkan dakwah, dakwah akan tetap berjalan, tanpa ataupun dengan adanya kita. Karena sejatinya kitalah yang membutuhkan dakwah untuk menggapai jannah. Setiap zaman selalu ada pejuang, pengkhianat, dan musuh. Tinggal kita mau menjadi bagian apa dalam tinta zaman.

22.51
InsyaAllah Segera Terbiasa



Rabu, 12 Oktober 2016

Aku bingung memulai dari mana.
 
Pertengahan malam sudah biasa menemani keseharian. Sisa-sisa petrikor masih tercium, bekas hujan tadi sore. Akhir-akhir ini banyak kejadian besar yang terlewati. Mukhayam telah berlalu, binaan sudah mulai di survei, dan tentunya keputusan besar yang belum terbiasa sampai detik ini, semuanya masih menggelayuti pikiranku. Hey, aku masih terjebak dengan "last seen" mu setiap pagi. Semoga segera terbiasa, InsyaAllah.

Ada banyak hal yang kurindukan, tentang semua hal yang telah terlalui. Menjadi konsekuensi karena kita- lebih tepatnya aku, telah mengambil keputusan yang salah dari awal, aku menyesal telah membuat langkah awal yang salah, maafkan aku karena telah membawa kepada kutub yang memalingkan mu dari jalan yang seharusnya, aku minta maaf. Ya, sungguh aku minta maaf. 

Atau mungkin aku yang ke ge er an, bahwa ternyata kamu sudah terbiasa. Kamu tidak masalah dari semua yang aku putuskan, itu malah yang seharusnya terjadi. Tak apa, yang jelas aku sudah meminta maaf, karena aku menyesal telah memulai segalanya, jadi walaupun kamu ndak membalas pesan ku terdahulu, semua telah usai bagi diriku sendiri, tak ada yang perlu ku sampaikan lagi.

00:23
InsyaAllah Terbiasa di ribuan malam selanjutnya