Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965
Herbert Feith & Lance Castles
Pemikiran
Islam Indonesia
Herbert
Feith dan Lence Castle memulai pembahasan mengenai pemikiran islam dengan menjelaskan
pergerakan islam sebelum masa kemerdekaan. Pada masa pra kemerdekaan,
pergerakan masa Islam terbesar di Indonesia adalah Sarekat Islam yang juga masuk
ke ranah politik waktu itu. Selain Sarekat Islam yang terjun di ranah politik,
muncul dua pergerakan yang muncul namun tidak menjejaki ranah politik, yaitu
Muhammadiyah yang mencakup kalangan modernis dan Nahdatul Ulama yang lebih
ortodoks dan tradisional.
Pada masa penjajahan jepang kedua organisasi ini menjalin
hubungan erat, mereka dengan organisasi-organisasi islam kecil lainnya
membentuk sebuah perkumpulan bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi). Masyumi menjadi kekuatan besar yang menghimpun massa dari kalangan kaum
muslimin.
Kemudian perpecahan tak dihindari ketika Indonesia memerdekakan
diri dari jepang dan memilih dasar negara Pancasila, yang sebagian kecil
kalangan kaum muslim menolak dan berharap menjadikan islam sebagai dasar
negara. Diantara pemberontakan yang terjadi adalah di Jawa Barat yang dipimpin
oleh Kartouwiryo dan di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh.
Namun Masyumi tetap berpegang pada perjuangan konstitusi
dengan duduk di kursi parlemen dan pemerintahan. Seiring waktu, Masyumi yang
semakin berkembang pun dipimpin oleh tokoh Islam reformis yaitu Muhammad Natsir.
Hal tersebut membuat kalangan Nahdhatul Ulama memisahkan diri pada tahun 1952
dan mendirikan partai politik sendiri. Hal tersebut menjadikan kutub politik
Islam menjadi terpecah. Masyumi yang memegang prinsip pembaharuan dan Nahdhatul
Ulama yang tradisional yang kebanyakan dari kalangan jawa dan pesantren.
Dalam buku ini, Herbert Feith dan Lence Castles mencirikan
pemikiran politik Masyumi adalah Islam Indonesia yang condong pada kemajuan,
dalam titik ini adalah kestabilan. Namun
Natsir adalah penentang sekulerime, yang cenderung fundamentalis. Masyumi
menekankan kestabilan dalam hal ini condong pada pemikiran sosial demokrasi.
Disisi lain, Nahdhatul Ulama yang merupakan partai
politik yang menonjol namun dalam buku ini tidak ditulis banyak oleh Herbert
Feith dan Lence Castles, karena pandangan politik yang belum memiliki pandangan
politik yang khas, contohnya adalah kedekatannya dengan kebijaksanaan terhadap
golongan kiri tanpa ada dasar ideologis.
Bab
pemikiran Islam ini mencoba menjelaskan pemikiran Islam di Indonesia yang
berkembang antara masa pasca kemerdekaan hingga akhir dari orde baru.
Nahdhatul Ulama Hukum Tuhan dan Penafsirannya (1954)
Herbert Feith dan Lence Castles mengutip ringkasan dari
“Penafsiran tentang prinsip-prinsip partai” yang dirasakan oleh Nahdhatul Ulama
pada kongres nya bulan September 1954. Pada akhir penjelasan kongres ini mereka
menjelaskan pentingnya mengikuti mahdzab dalam islam tapi tidak
mengharuskannya.
Dalam Isi dari kongres ini dimulai dari pentingnya
pentingnya dua unsur dalam manusia yaitu Jasmani dan Ruhani. Kebutuhan jasmani
manusia di penuhi dengan ketentuan-ketentuan yang dijelaskan dalam ilmu
kesehatan secara fisik, sementara kebutuhan ruhani yang bersifat batin perlu
dipenuhi dengan peran agama dengan tuntunan nya yaitu Al Qur’an dan Hadist.
Selain sebagai pemenuhan rohani Al Qur’an juga menjadi tuntunan dalam
memecahkan masalah.
Pada zaman Rasulullah Saw, tatanan hukum berdasarkan Al
Qur’an tidak ada perbedaan dalam penafsiran dimana Rasulullah masih ada, namu
setelah Rasulullah Saw wafat, terjadi perbedaan penafsiran tapi tidak terlalu
parah karena generasi sahabat menyebarkan ke seluruh jazirah arab, dan pada
generasi tabi’in atau setelah generasi sahabat terjadi perbedaan penafsiran
dalam menafsirkan Al Qur’an maka munculah metode qias atau perbandingan, munculah pengelompokan hadist dan lain
sebagainya.
Dan yang tak kalah penting adalah metode Ijtihad atau penafsiran berdasar
penyaluran pikiran secara maksimal dengan syarat-syarat yang ketat untuk
menafsirkan Al Qur’an. Maka munculah mujtahid
(orang yang berijtihad). Mujtahid ini
memiliki tingkatan, dan tingkatan tertinggi adalah Mujtahid Muthlaq, diantara dari mereka adalah Imam Ahmad bin
Hambal, Imam Syafi’i, Imam Maliky, dan Imam Hanafi.
Ijtihad-ijtihad dari Mujtahid Muthlaq tersebut terhimpun
menjadi suatu hukum yang dinamakan Madzhab,
sehingga kita mengenal Madzhab Hambali,
Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi dan Madzhab
Maliky. Madzhab tersebut menjadi acuan dan dasar yang diperlukan untuk umat
muslim dan menjadi prinsip-prinsip penafsiran dari Nahdhatul Ulama.
Manifesto
Pemberontakan Aceh (1953)
Pada 21 September 1953, Muhammad Daud Beureuh
memproklamirkan Aceh sebagai wilayah Negara Islam Indonesia pimpinan
Kartosuwiryo. Herbert Feith dan Lence Castles mengutip petikan dari pernyataan
orang dekat Daud Beuruh yang menjadi justifikasi atas pemberontakan yang ada di
aceh.
Dalam Surat tersebut, banyak keluhan yang muncul dari
sebagian kalangan Islam di Aceh, dimana orang islam merasa dianggap tidak
memiliki rasa cinta terhadap Indonesia. Selain itu dalam pernyataan tersebut,
mereka telah mengharapkan terbentuk negara Islam semenjak lama. Mereka mengutip
ayat Al Qur’an ;
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”(Al Ma'idah:44)
Namun kalangan tersebut meminta Presiden untuk tidak
menyerang mereka, tetapi seandainya mereka (NKRI) menggunakan senjata maka
rakyat aceh juga akan melawan balik.
Muhammad Natsir Tujuan Masyumi (1956)
Pada pembahasan
kali ini, penulis mengambil kutipan dari pidato Muhammad Natsir pada 7 November
1956, karena memang pemikiran-pemikiran Masyumi banyak terpengaruh dari pemikiran
Natsir itu sendiri. Pada waktu itu bertepatan dengan sebelas tahun partai
Masyumi.
Dalam pidato tersebut Natsir menjelaskan sejarah singkat
dari Masyumi itu sendiri. Masyumi berdiri pada 7 November 1945, dimana menurut
Natsir, tujuan dari Masyumi adalah pembebasan rakyat indonesia dari penindasan
golongan, pembebasan dari kemiskinan serta menciptakan masyarakat yang
menjujung tinggi nilai musyawarah.
Menurutnya, Masyumi lahir atas perjuangan-perjuangan
pejuang muslim sebelum kemerdekaan indonesia. Beliau menyebutkan beberapa
pejuang seperti Imam Bonjol, Diponegoro, dan Hasanudin. Pada 7 November, Ulama
dan Zumaa berkumpul di Jogjakarta dan
membentuk Partai Masyumi.
Muhammad Natsir dan Bahaya Sekulerisme (1957)
Seperti kita
ketahui, dalam pemikiran Natsir, Natsir secara terbuka menolak sekulerisme.
Dalam pidatonya pada 12 November 1957, Natsir mengkritik paham yang dinamakan
Sekulerisme ini, yaitu paham yang menurutnya pandangan, tujuan dan orientasinya
mengarah ke arah keduniawian.
Menurutnya,
segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas dari agama.
Menurutnya dalam paham sekulerisme tidak ada ukuran-ukuran yang pasti dari para
penganut paham tersebut. Beliau mencontohkan ada sebagian penganut sekulerisme
yang membenarkan zinah, namun sebagian penganut ada yang mengatakan hal
tersebut melanggar norma kesusilaan. Menurut Natsir, Sekulerisme menyebabkan
penyakit saraf dan ruhani, karena pada dasarnya, manusia membutuhkan suatu
ukuran dan asas yang tidak berubah.
Dalam penerapan terhadap negara, sekulerisme menyebabkan
penentuan kebijakan politik, ekonomi maupun sosial berdasarkan
kepentingan-kepentingan manusia, walaupun terdapat kebijakan yang berasal dari
ruhani tapi tidak bisa melebihi batas-batas yang dibuat oleh manusia sendiri.
Dan menurut Natsir, yang paling berbahaya dari paham sekulerisme adalah
turunnya nilai-nilai yang diturunkan oleh wahyu dan kehendak Tuhan.
Muhammad Natsir dan Toleransi Islam (1954)
Penulis mengambil tulisan dari Muhammad Natsir tentang
toleransi Islam. Yang berjudul “Keragaman Hidup Antar Beragama” yang
diterbitkan Majalah Masyumi pada tahun 1954.
Menurut Natsir, kepercayaan yang dianutnya yaitu Islam
adalah agama yang membebaskan manusia dari tekanan terhadap benda, tahayul
ataupun sebagainya. Selain itu dalam kehidupan sehari-hari perbedaan adalah
suatu sunnatullah atau keniscayaan.
Seorang muslim tidak boleh bersikap pasif melihat perbedaan yang terjadi.
Menurutnya tolerasi yang diajarkan Islam adalah yang bersikap aktif dalam
menghargai perbedaan yang ada. Aktif dalam mencari titik persamaan dalam
perbedaan yang ada.
Maka dari itu, Islam ada tidak bertujuan untuk mencapai
suatu perpecahan, melainkan untuk menjamin kemerdekaan dalam beragama dan
menjernihkan kehidupan beragama diantara 80 juta penduduk Indonesia pada waktu
itu.
R.A.A
Wiranata Koesoema Islam dan Demokrasi (1948)
Masyarakat Islam
pada dasarnya adalah masyarakat yang demokratis. Seorang Khalifah dalam hal ini adalah pada masa Abu Bakar, bukanlah seorang
seorang diktator yang apapun yang dikatakannya harus dipatuhi. Namun elemen
masyarakat berhak untuk mengingatkan dan mengoreksi seorang Khalifah yang melakukan kesalahan.
Selain itu, prinsip kesetaraan telah dijunjung tinggi
oleh masyarakat Islam waktu itu. Tidak ada yang lebih mulia dihadapan Allah,
semuanya setara yang membedakan adalah keimanan di mata Allah Swt.
Dalam demokrasi Islam,
semua orang tidak memiliki hak ilahiah untuk memerintah, tidak ada wakyu yang
dikhususkan untuk seseorang untuk memiliki jabatan Khalifah. Semuanya memiliki hak yang sama untuuk menjadi kepala
negara. Maka tidak ayal ketika banyak budak di zaman Rasulullah yang pada
akhirnya memiliki jabatan yang tinggi di pemerintahan. Asalkan semuanya
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Al Qur’an.
Dalam akhir bab ini penulis menjelaskan bahwa agama islam
adalah agama yang universal dan dapat diterapkan secara universal dalam
praktek, yang menjadikan masyarakat islam menjadi satu-satunya masyarakat yang
demokratis secara ruhiah di dunia.