Jumat, 23 Desember 2016

Menggali Pemikiran Islam Pasca Kemerdekaan Indonesia



Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965
Herbert Feith & Lance Castles

Pemikiran Islam Indonesia


            Herbert Feith dan Lence Castle memulai pembahasan mengenai pemikiran islam dengan menjelaskan pergerakan islam sebelum masa kemerdekaan. Pada masa pra kemerdekaan, pergerakan masa Islam terbesar di Indonesia adalah Sarekat Islam yang juga masuk ke ranah politik waktu itu. Selain Sarekat Islam yang terjun di ranah politik, muncul dua pergerakan yang muncul namun tidak menjejaki ranah politik, yaitu Muhammadiyah yang mencakup kalangan modernis dan Nahdatul Ulama yang lebih ortodoks dan tradisional. 

            Pada masa penjajahan jepang kedua organisasi ini menjalin hubungan erat, mereka dengan organisasi-organisasi islam kecil lainnya membentuk sebuah perkumpulan bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi menjadi kekuatan besar yang menghimpun massa dari kalangan kaum muslimin.

            Kemudian perpecahan tak dihindari ketika Indonesia memerdekakan diri dari jepang dan memilih dasar negara Pancasila, yang sebagian kecil kalangan kaum muslim menolak dan berharap menjadikan islam sebagai dasar negara. Diantara pemberontakan yang terjadi adalah di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartouwiryo dan di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh.

            Namun Masyumi tetap berpegang pada perjuangan konstitusi dengan duduk di kursi parlemen dan pemerintahan. Seiring waktu, Masyumi yang semakin berkembang pun dipimpin oleh tokoh Islam reformis yaitu Muhammad Natsir. Hal tersebut membuat kalangan Nahdhatul Ulama memisahkan diri pada tahun 1952 dan mendirikan partai politik sendiri. Hal tersebut menjadikan kutub politik Islam menjadi terpecah. Masyumi yang memegang prinsip pembaharuan dan Nahdhatul Ulama yang tradisional yang kebanyakan dari kalangan jawa dan pesantren.

            Dalam buku ini, Herbert Feith dan Lence Castles mencirikan pemikiran politik Masyumi adalah Islam Indonesia yang condong pada kemajuan, dalam titik ini adalah kestabilan.  Namun Natsir adalah penentang sekulerime, yang cenderung fundamentalis. Masyumi menekankan kestabilan dalam hal ini condong pada pemikiran sosial demokrasi.

            Disisi lain, Nahdhatul Ulama yang merupakan partai politik yang menonjol namun dalam buku ini tidak ditulis banyak oleh Herbert Feith dan Lence Castles, karena pandangan politik yang belum memiliki pandangan politik yang khas, contohnya adalah kedekatannya dengan kebijaksanaan terhadap golongan kiri tanpa ada dasar ideologis. 

Bab pemikiran Islam ini mencoba menjelaskan pemikiran Islam di Indonesia yang berkembang antara masa pasca kemerdekaan hingga akhir dari orde baru. 

Nahdhatul Ulama Hukum Tuhan dan Penafsirannya (1954)

            Herbert Feith dan Lence Castles mengutip ringkasan dari “Penafsiran tentang prinsip-prinsip partai” yang dirasakan oleh Nahdhatul Ulama pada kongres nya bulan September 1954. Pada akhir penjelasan kongres ini mereka menjelaskan pentingnya mengikuti mahdzab dalam islam tapi tidak mengharuskannya.

            Dalam Isi dari kongres ini dimulai dari pentingnya pentingnya dua unsur dalam manusia yaitu Jasmani dan Ruhani. Kebutuhan jasmani manusia di penuhi dengan ketentuan-ketentuan yang dijelaskan dalam ilmu kesehatan secara fisik, sementara kebutuhan ruhani yang bersifat batin perlu dipenuhi dengan peran agama dengan tuntunan nya yaitu Al Qur’an dan Hadist. Selain sebagai pemenuhan rohani Al Qur’an juga menjadi tuntunan dalam memecahkan masalah.

            Pada zaman Rasulullah Saw, tatanan hukum berdasarkan Al Qur’an tidak ada perbedaan dalam penafsiran dimana Rasulullah masih ada, namu setelah Rasulullah Saw wafat, terjadi perbedaan penafsiran tapi tidak terlalu parah karena generasi sahabat menyebarkan ke seluruh jazirah arab, dan pada generasi tabi’in atau setelah generasi sahabat terjadi perbedaan penafsiran dalam menafsirkan Al Qur’an maka munculah metode qias atau perbandingan, munculah pengelompokan hadist dan lain sebagainya.

            Dan yang tak kalah penting adalah metode Ijtihad atau penafsiran berdasar penyaluran pikiran secara maksimal dengan syarat-syarat yang ketat untuk menafsirkan Al Qur’an. Maka munculah mujtahid (orang yang berijtihad). Mujtahid ini memiliki tingkatan, dan tingkatan tertinggi adalah Mujtahid Muthlaq, diantara dari mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal, Imam Syafi’i, Imam Maliky, dan Imam Hanafi.

Ijtihad-ijtihad dari Mujtahid Muthlaq tersebut terhimpun menjadi suatu hukum yang dinamakan Madzhab, sehingga kita mengenal Madzhab Hambali, Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliky. Madzhab tersebut menjadi acuan dan dasar yang diperlukan untuk umat muslim dan menjadi prinsip-prinsip penafsiran dari Nahdhatul Ulama.
Manifesto Pemberontakan Aceh (1953)

            Pada 21 September 1953, Muhammad Daud Beureuh memproklamirkan Aceh sebagai wilayah Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Herbert Feith dan Lence Castles mengutip petikan dari pernyataan orang dekat Daud Beuruh yang menjadi justifikasi atas pemberontakan yang ada di aceh.

            Dalam Surat tersebut, banyak keluhan yang muncul dari sebagian kalangan Islam di Aceh, dimana orang islam merasa dianggap tidak memiliki rasa cinta terhadap Indonesia. Selain itu dalam pernyataan tersebut, mereka telah mengharapkan terbentuk negara Islam semenjak lama. Mereka mengutip ayat Al Qur’an ;

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”(Al Ma'idah:44)

            Namun kalangan tersebut meminta Presiden untuk tidak menyerang mereka, tetapi seandainya mereka (NKRI) menggunakan senjata maka rakyat aceh juga akan melawan balik.

Muhammad Natsir Tujuan Masyumi (1956)

            Pada pembahasan kali ini, penulis mengambil kutipan dari pidato Muhammad Natsir pada 7 November 1956, karena memang pemikiran-pemikiran Masyumi banyak terpengaruh dari pemikiran Natsir itu sendiri. Pada waktu itu bertepatan dengan sebelas tahun partai Masyumi.

            Dalam pidato tersebut Natsir menjelaskan sejarah singkat dari Masyumi itu sendiri. Masyumi berdiri pada 7 November 1945, dimana menurut Natsir, tujuan dari Masyumi adalah pembebasan rakyat indonesia dari penindasan golongan, pembebasan dari kemiskinan serta menciptakan masyarakat yang menjujung tinggi nilai musyawarah.

            Menurutnya, Masyumi lahir atas perjuangan-perjuangan pejuang muslim sebelum kemerdekaan indonesia. Beliau menyebutkan beberapa pejuang seperti Imam Bonjol, Diponegoro, dan Hasanudin. Pada 7 November, Ulama dan Zumaa berkumpul di Jogjakarta dan membentuk Partai Masyumi.

Muhammad Natsir dan Bahaya Sekulerisme (1957)

            Seperti kita ketahui, dalam pemikiran Natsir, Natsir secara terbuka menolak sekulerisme. Dalam pidatonya pada 12 November 1957, Natsir mengkritik paham yang dinamakan Sekulerisme ini, yaitu paham yang menurutnya pandangan, tujuan dan orientasinya mengarah ke arah keduniawian. 

            Menurutnya, segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas dari agama. Menurutnya dalam paham sekulerisme tidak ada ukuran-ukuran yang pasti dari para penganut paham tersebut. Beliau mencontohkan ada sebagian penganut sekulerisme yang membenarkan zinah, namun sebagian penganut ada yang mengatakan hal tersebut melanggar norma kesusilaan. Menurut Natsir, Sekulerisme menyebabkan penyakit saraf dan ruhani, karena pada dasarnya, manusia membutuhkan suatu ukuran dan asas yang tidak berubah.

            Dalam penerapan terhadap negara, sekulerisme menyebabkan penentuan kebijakan politik, ekonomi maupun sosial berdasarkan kepentingan-kepentingan manusia, walaupun terdapat kebijakan yang berasal dari ruhani tapi tidak bisa melebihi batas-batas yang dibuat oleh manusia sendiri. Dan menurut Natsir, yang paling berbahaya dari paham sekulerisme adalah turunnya nilai-nilai yang diturunkan oleh wahyu dan kehendak Tuhan.
Muhammad Natsir dan Toleransi Islam (1954)

            Penulis mengambil tulisan dari Muhammad Natsir tentang toleransi Islam. Yang berjudul “Keragaman Hidup Antar Beragama” yang diterbitkan Majalah Masyumi pada tahun 1954.

            Menurut Natsir, kepercayaan yang dianutnya yaitu Islam adalah agama yang membebaskan manusia dari tekanan terhadap benda, tahayul ataupun sebagainya. Selain itu dalam kehidupan sehari-hari perbedaan adalah suatu sunnatullah atau keniscayaan. Seorang muslim tidak boleh bersikap pasif melihat perbedaan yang terjadi. Menurutnya tolerasi yang diajarkan Islam adalah yang bersikap aktif dalam menghargai perbedaan yang ada. Aktif dalam mencari titik persamaan dalam perbedaan yang ada. 

            Maka dari itu, Islam ada tidak bertujuan untuk mencapai suatu perpecahan, melainkan untuk menjamin kemerdekaan dalam beragama dan menjernihkan kehidupan beragama diantara 80 juta penduduk Indonesia pada waktu itu.

R.A.A Wiranata Koesoema Islam dan Demokrasi (1948)

            Masyarakat Islam pada dasarnya adalah masyarakat yang demokratis. Seorang Khalifah dalam hal ini adalah pada masa Abu Bakar, bukanlah seorang seorang diktator yang apapun yang dikatakannya harus dipatuhi. Namun elemen masyarakat berhak untuk mengingatkan dan mengoreksi seorang Khalifah yang melakukan kesalahan.
            
           Selain itu, prinsip kesetaraan telah dijunjung tinggi oleh masyarakat Islam waktu itu. Tidak ada yang lebih mulia dihadapan Allah, semuanya setara yang membedakan adalah keimanan di mata Allah Swt.

           Dalam demokrasi Islam, semua orang tidak memiliki hak ilahiah untuk memerintah, tidak ada wakyu yang dikhususkan untuk seseorang untuk memiliki jabatan Khalifah. Semuanya memiliki hak yang sama untuuk menjadi kepala negara. Maka tidak ayal ketika banyak budak di zaman Rasulullah yang pada akhirnya memiliki jabatan yang tinggi di pemerintahan. Asalkan semuanya memenuhi syarat yang ditentukan oleh Al Qur’an.

            Dalam akhir bab ini penulis menjelaskan bahwa agama islam adalah agama yang universal dan dapat diterapkan secara universal dalam praktek, yang menjadikan masyarakat islam menjadi satu-satunya masyarakat yang demokratis secara ruhiah di dunia.