Selasa, 18 Oktober 2016

Refleksi Kopi

Pict : M Rifqi Ali Ghufran
Teringat wasiat seorang ustadz ;

"Dimanapun engkau berada, carilah peran terbaikmu disana"

Pada awal-awal pikiran masih idealis, mungkin memang hal tersebut mudah untuk direalisasikan, seolah gunung setinggi apapun dapat dilewati. Pada kenyataannya, melihat realitas sesungguhnya yang terjadi di tengah masyarkat, serasa kaki tak bisa di langkahkan, berat untuk meninggalkan zona nyaman. Merasa bahwa kita benar-benar berada di fraksi yang benar-benar asing dan terasing.

Suatu malam, aku merasakan hal yang menjadi refleksi pikiran. Jalan Sukarno Hatta beserta kedaraan kota lalu lalang di depan mata. "Patung pesawat" menjadi pajangan indah yang menghiasi sepanjang malam di kota malang. Dengan kopi di hadapan yang menemani. Lalu hati terguncang ketika realitas ada di depan mata. Ya, Inilah kehidupan Malang di malam hari.

Terlintas di pikiran tentang perjuangan murabbi besar kita, Sayyid Hasan Al Banna. Ia yang hidup di zaman yang penjajahan dalam arti sesungguhnya terjadi di mesir, yang pada waktu itu Inggris sedang menjajah negeri Anbiya tersebut. Mesir yang kala itu kemaksiatan merajalela. Mesir yang waktu itu sedang dalam keadaan terluka setelah Khilafah Utsmany di pojokkan sedemikian rupa. Saat itu umat islam sedang terluka.

AsSyahid Hasan Al Banna memulai dari hal-hal kecil yang tak terpikirkan oleh siapapun. Ia memulai dakwah nya dari cafe-cafe, dari warung kopi ke warung kopi lainnya. Membangkitkan ghirah para umat islam yang kala itu sedang tertidur, hingga terciptalah kader-kader pertama dalam kancah tarbiyah didunia. Umat yang bangkit dalam tekanan, umat islam saat itu bagaikan tanaman yang tumbuh di kerasnya beton. Tak sedikit cobaan besar yang dihadapi kala itu, penangkapan oleh polisi mesir, dianggap sebagai organisasi teroris, bahkan di khianati oleh presiden mesir yang kala itu adalah kader ikhwan itu sediri. Semuanya merupakan perjuangan besar, yang akhirnya terdiaspora hingga keseluruh dunia, termasuk Indonesia.

Ketika menilik zaman terbaik, zaman dimana Rasulullah SAW hidup, umat islam juga hidup dalam tekanan besar. Ketika belajar shiroh, pasti akan ada kisah tentang bilal bin rabah yang tubuhnya di tindih batu di panasnya terik matahari karena mempertahankan keimanannya. Kita tidak asing dengan nama khabab bin art, Ia diseterika dengan besi panas yang merah menyala, dipakaikan baju besi kemudian dijemur di panas padang pasir, juga pernah diseret di atas timbunan bara sehingga lemak dan darahnya mengalir mematikan bara tersebut.

Kadang memang terlintas rasa kesal dalam menjalani dakwah, malas mendapati panggilan yang menuntut untuk membina maupun mengurus amanah kepanitiaan, disisi lain masih ada amanah akademik dan amanah lainnya. Tapi mengingat refleksi pikiran, mengenai orang-orang terdahulu maupun qiyadah yang banting tulang mengabdikan dirinya penuh dalam dakwah, bahkan diri ini belum seujung kuku mengabdikan diri dalam dakwah.

Benar kata seorang ustadz, bahwa mau jutaan orang meninggalkan dakwah, dakwah akan tetap berjalan, tanpa ataupun dengan adanya kita. Karena sejatinya kitalah yang membutuhkan dakwah untuk menggapai jannah. Setiap zaman selalu ada pejuang, pengkhianat, dan musuh. Tinggal kita mau menjadi bagian apa dalam tinta zaman.

22.51
InsyaAllah Segera Terbiasa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar